HrdBAdsCksEZ8BH2lR0SY5MUAzbjwb8AYTuig5dE
Bookmark

konten-12


Candranaya: Saksi Bisu Kebangkitan Pasca Tragedi 1740 di Jantung Batavia

Di tengah himpitan beton dan kaca modern Jakarta Barat, berdirilah sebuah saksi bisu sejarah: Gedung Candranaya. Ini bukan sekadar bangunan tua; ini adalah kapsul waktu yang menyimpan kisah kemakmuran, tragedi, dan kebangkitan komunitas Tionghoa Batavia. Banyak yang melewatinya, namun sedikit yang memahami kedalaman cerita yang tersimpan di balik dinding dan atap pelananya yang khas. Mengunjungi Candranaya adalah sebuah perjalanan untuk memahami akar sejarah Jakarta yang sering terlupakan.

Candranaya, yang diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-18, adalah contoh arsitektur Tionghoa tradisional gaya Siheyuan (rumah dengan halaman tengah) yang luar biasa. Dengan ukiran kayu yang rumit, tata ruang yang filosofis, dan aura ketenangan yang kontras dengan hiruk pikuk Glodok, bangunan ini memancarkan kemegahan masa lalu. Keberadaannya hari ini, yang 'dipeluk' oleh kompleks apartemen modern, adalah keajaiban pelestarian budaya yang patut disyukuri.

Gedung ini dibangun dan pertama kali ditempati oleh Khouw Him Kio, seorang Kapten Cina terkemuka yang menjabat pada pertengahan abad ke-18. Jabatan 'Kapten Cina' adalah posisi yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda (VOC) kepada pemimpin komunitas Tionghoa. Kapten bertanggung jawab mengatur komunitasnya, memungut pajak, dan menjadi perantara penting antara rakyat Tionghoa dan penguasa Belanda. Rumah ini adalah simbol status dan kekuasaan keluarga Khouw pada masanya.

Namun, kemegahan ini dibangun di atas bayang-bayang salah satu tragedi terkelam di Asia Tenggara. Untuk memahami mengapa Candranaya berdiri di lokasinya saat ini, kita harus mundur ke tahun 1740, saat terjadinya "Geger Pecinan". Ini adalah periode kelam di mana VOC, diliputi paranoia akan pemberontakan akibat krisis ekonomi dan sosial, melakukan pembantaian massal terhadap ribuan etnis Tionghoa di dalam tembok kota Batavia (kini Kota Tua).

Pembantaian brutal selama beberapa hari itu melenyapkan sebagian besar populasi Tionghoa di dalam benteng Batavia. Peristiwa ini adalah titik balik yang mengerikan. VOC tidak hanya menghancurkan komunitas, tetapi juga menciptakan trauma mendalam yang mengubah tatanan sosial dan demografi kota selamanya.

Inilah kaitan krusialnya. Setelah tragedi 1740, etnis Tionghoa yang selamat dilarang keras untuk tinggal kembali di dalam tembok kota. Mereka dipaksa pindah ke selatan, ke area yang saat itu masih berupa pinggiran kota, yang kini kita kenal sebagai Glodok dan Pancoran. Candranaya, yang dibangun di era setelah 1740 di luar tembok kota lama, menjadi simbol dimulainya babak baru komunitas Tionghoa di lokasi baru mereka.

Karena itu, Gedung Candranaya bukan hanya sekadar rumah seorang Kapten yang kaya raya. Ia adalah monumen kebangkitan. Ia melambangkan ketangguhan (resilience) komunitas Tionghoa yang, setelah nyaris musnah dalam tragedi 1740, berhasil membangun kembali kehidupan, ekonomi, dan struktur sosial mereka di Glodok. Gedung ini adalah bukti fisik dari kemampuan mereka untuk berkembang bahkan setelah bencana terburuk sekalipun.

Mengunjungi Candranaya hari ini bukan sekadar agenda wisata arsitektur. Ini adalah sebuah penghormatan terhadap sejarah, perjuangan, dan warisan budaya yang membentuk Jakarta. Ini adalah undangan untuk berhenti sejenak, merenungkan bahwa di balik gemerlapnya ibu kota, tersimpan kisah-kisah ketahanan manusia yang luar biasa, terukir abadi di dinding sebuah rumah tua yang menolak untuk dilupakan.

A sign with text and pictures

AI-generated content may be incorrect.  A building with a red roof

AI-generated content may be incorrect.

 Candranaya: The Silent Witness to Resilience After the 1740 Tragedy in the Heart of Batavia

Amidst the modern concrete and glass towers of West Jakarta stands a silent witness to history: the Candranaya Building. This is not just an old structure; it is a time capsule preserving stories of prosperity, tragedy, and the resilience of Batavia's Chinese community. Many pass it by, but few understand the depth of the story hidden behind its walls and distinctive saddle roof. Visiting Candranaya is a journey to understand the often-forgotten roots of Jakarta's history.

Candranaya, estimated to have been built in the mid-18th century, is an extraordinary example of traditional Chinese architecture in the Siheyuan (central courtyard) style. With its intricate wood carvings, philosophical layout, and an aura of tranquility that contrasts with the bustle of Glodok, the building radiates the grandeur of the past. Its existence today, 'embraced' by a modern apartment complex, is a cultural preservation miracle to be grateful for.

The building was constructed and first occupied by Khouw Him Kio, a prominent Kapten Cina (Chinese Captain) who served in the mid-18th century. The 'Kapten Cina' title was a position appointed by the Dutch colonial government (VOC) to lead the Chinese community. The Captain was responsible for governing his community, collecting taxes, and acting as a crucial intermediary between the Chinese populace and the Dutch rulers. This house was a symbol of the Khouw family's status and power at the time.

However, this splendor was built in the shadow of one of Southeast Asia's darkest tragedies. To understand why Candranaya stands in its current location, we must step back to 1740, the year of the "Geger Pecinan" (Chinatown Massacre). This was a dark period when the VOC, paranoid about rebellion due to economic and social crises, carried out a mass slaughter of thousands of ethnic Chinese within Batavia's city walls (now Kota Tua).

The brutal massacre over several days annihilated a large portion of the Chinese population inside Batavia's fortress. This event was a horrific turning point. The VOC not only destroyed the community but also created a deep trauma that forever changed the city's social order and demographics.

This is the crucial link. After the 1740 tragedy, the surviving ethnic Chinese were strictly forbidden from living inside the city walls again. They were forced to move south, to an area that was then the city's outskirts, which we now know as Glodok and Pancoran. Candranaya, built in the era after 1740 outside the old city walls, became a symbol of the Chinese community's new chapter in their new location.

Therefore, the Candranaya Building is not just the home of a wealthy Captain. It is a monument to resurgence. It symbolizes the resilience of the Chinese community which, after being nearly wiped out in the 1740 tragedy, successfully rebuilt their lives, economy, and social structure in Glodok. This building is physical proof of their ability to thrive even after the worst of disasters.

Visiting Candranaya today is not just an architectural tour. It is a tribute to the history, struggle, and cultural legacy that shaped Jakarta. It is an invitation to pause, to reflect that behind the capital's glittering facade lie extraordinary stories of human endurance, etched eternally on the walls of an old house that refuses to be forgotten.

Posting Komentar

Posting Komentar