Harmoni Iman dalam Balutan Arsitektur
Tionghoa: Kisah Gereja Santa Maria de Fatima
Di jantung kawasan pecinan Glodok yang sarat
sejarah, tersembunyi sebuah permata arsitektur dan spiritual yang unik. Ini
adalah sebuah gereja Katolik yang sama sekali tidak terlihat seperti gereja
pada umumnya. Gereja Santa Maria de Fatima berdiri megah, bukan dengan menara
lonceng Gotik, melainkan dengan atap pelana khas klenteng, pilar-pilar merah
menyala, dan sepasang singa penjaga di gerbangnya.
Keunikan ini bukanlah kebetulan, melainkan
jejak sejarah yang mendalam. Bangunan ini awalnya bukanlah gereja. Didirikan
sekitar awal abad ke-20, ini adalah kediaman mewah seorang tuan tanah Tionghoa
terkemuka, Oei Tjin-Liat. Arsitekturnya yang kental nuansa Tionghoa—lengkap
dengan halaman tengah (patio) dan detail ukiran kayu—adalah representasi
kemakmuran dan status sosial pada masanya.
Masuknya agama Katolik secara formal ke
kawasan ini berkaitan erat dengan bangunan tersebut. Setelah era Kemerdekaan
Indonesia, populasi Tionghoa-Katolik di Jakarta bertumbuh. Pada tahun 1953,
Vatikan membeli properti ini dari ahli warisnya. Setahun kemudian, bangunan ini
diberkati dan difungsikan sebagai gereja, didedikasikan untuk 'Santa Maria de
Fatima', sebagai pusat misi dan pelayanan bagi komunitas Katolik berbahasa
Mandarin di Glodok dan sekitarnya.
Transformasi ini adalah contoh 'inkulturasi'
yang luar biasa—proses di mana iman Katolik berdialog dan menyatu dengan budaya
lokal. Gereja tidak merombak total bangunan itu; sebaliknya, mereka
mempertahankan dan mengadaptasi arsitekturnya. Ini adalah sebuah pesan kuat:
menjadi Katolik tidak berarti harus meninggalkan identitas dan warisan budaya
Tionghoa.
Perhatikan artifak-artifak di pintu masuk.
Anda akan disambut oleh sepasang 'Ciok Sai' atau Singa Penjaga. Dalam tradisi
Tionghoa, mereka adalah pelindung yang mengusir roh jahat dari kuil atau rumah.
Di sini, mereka 'dialihfungsikan' secara simbolis untuk menjaga kekudusan
halaman gereja, menjadi penjaga gerbang rumah Tuhan.
Di dalam, dominasi warna merah langsung
mencuri perhatian. Dalam budaya Tionghoa, merah adalah simbol keberuntungan,
kebahagiaan, dan perayaan. Dalam teologi Katolik, merah melambangkan darah
Kristus yang tercurah (pengorbanan) dan api Roh Kudus (semangat). Di gereja
ini, kedua makna tersebut berpadu, menciptakan suasana ibadah yang khidmat
sekaligus penuh sukacita.
Bahkan artifak ibadah inti mengalami sentuhan
lokal. Di beberapa bagian gereja, Anda mungkin menemukan penggambaran Jalan
Salib atau figur suci dengan sentuhan artistik Oriental. Altar utamanya pun
dihiasi dengan ukiran kayu rumit bermotif awan dan naga, simbol-simbol yang
dalam budaya Tionghoa melambangkan surga dan kekuatan pelindung.
Mengunjungi Gereja Santa Maria de Fatima lebih
dari sekadar agenda wisata; ini adalah pelajaran tentang dialog dan penerimaan.
Ini adalah bukti nyata bahwa iman dan budaya dapat berjalan beriringan, saling
memperkaya, dan menciptakan harmoni yang indah. Ini adalah undangan untuk
menyaksikan bagaimana keyakinan dapat menemukan rumah di tempat yang paling tak
terduga sekalipun.
Harmony of Faith in Chinese Robes: The
Story of St. Mary of Fatima Church
In the historic heart of Glodok (Jakarta's
Chinatown), a unique architectural and spiritual gem is hidden. This is a
Catholic church that looks nothing like a typical church. The Church of St.
Mary of Fatima stands majestically, not with Gothic spires, but with a classic
Chinese saddle roof, vibrant red pillars, and a pair of guardian lions at its
gate.
This uniqueness is not accidental but a trace
of profound history. The building was not originally a church. Established
around the early 20th century, it was the luxurious residence of a prominent
Chinese landlord, Oei Tjin-Liat. Its thick Chinese-influenced
architecture—complete with a central courtyard (patio) and detailed wood
carvings—was a representation of prosperity and social status in its time.
The formal entry of Catholicism into this
specific area is closely tied to this building. After Indonesia's independence,
the Chinese-Catholic population in Jakarta grew. In 1953, the Vatican acquired
this property from its heirs. A year later, the building was blessed and
consecrated as a church, dedicated to 'Our Lady of Fatima', serving as a
mission and service center for the Mandarin-speaking Catholic community in
Glodok and its surroundings.
This transformation is an extraordinary
example of 'inculturation'—the process by which the Catholic faith dialogues
and merges with local culture. The Church did not demolish the building;
instead, they preserved and adapted its architecture. This sent a powerful
message: becoming Catholic did not mean abandoning one's Chinese identity and
cultural heritage.
Pay attention to the artifacts at the
entrance. You are greeted by a pair of 'Ciok Sai' or Guardian Lions. In Chinese
tradition, they are protectors who ward off evil spirits from temples or homes.
Here, they are symbolically 're-purposed' to guard the sanctity of the church
grounds, becoming gatekeepers to the house of God.
Inside, the dominance of the color red
immediately catches the eye. In Chinese culture, red is the symbol of luck,
joy, and celebration. In Catholic theology, red symbolizes the shed blood of
Christ (sacrifice) and the fire of the Holy Spirit (zeal). In this church, both
meanings merge, creating an atmosphere of worship that is both solemn and
joyful.
Even core worship artifacts received a local
touch. In some parts of the church, you may find depictions of the Stations of
the Cross or holy figures with subtle Oriental artistic flair. The main altar
itself is adorned with intricate wood carvings of clouds and dragons—symbols
that, in Chinese culture, represent heaven and protective power.
Visiting the Church of St. Mary of Fatima is
more than just a tourist agenda; it is a lesson in dialogue and acceptance. It
is tangible proof that faith and culture can walk hand-in-hand, enriching each
other, and creating beautiful harmony. It is an invitation to witness how faith
can find a home in the most unexpected of places.


Posting Komentar