Vihara Dharma Bhakti: Jantung Spiritual Tri
Dharma dan Sejarah Abadi di Pecinan Jakarta
Di antara labirin gang-gang sempit dan riuhnya
perdagangan di Petak Sembilan, Glodok, berdiri sebuah oase spiritual yang
agung. Hidung Anda akan lebih dulu disambut oleh aroma pekat dupa (hio) yang
menenangkan, menuntun Anda ke gerbang Vihara Dharma Bhakti. Dikenal juga dengan
nama aslinya, Kim Tek Ie (Klenteng Kebajikan Emas), ini adalah klenteng tertua
di Jakarta, sebuah mercusuar iman dan sejarah yang telah berdiri kokoh sejak
tahun 1650.
Vihara ini adalah lambang hidup dari Tri
Dharma (Tiga Ajaran), sebuah bukti nyata bagaimana tiga filosofi
besar—Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme—dapat menyatu secara harmonis. Ini
bukan sekadar tempat ibadah untuk satu agama, melainkan sebuah rumah bersama.
Umat datang untuk memohon welas asih dari Bodhisatwa (Buddhisme), mencari
keharmonisan alam semesta melalui ajaran Tao (Taoisme), dan menghormati leluhur
serta etika sosial (Konfusianisme) di bawah satu atap yang sama.
Sejarah peribadatan tiga agama ini telah
mengakar selama berabad-abad. Didirikan oleh Letnan Tionghoa Kwee Hoen, Kim Tek
Ie dibangun sebagai pusat spiritual dan sosial bagi komunitas Tionghoa di
Batavia. Ia menjadi tempat di mana orang bersyukur atas panen, memohon
keselamatan dalam pelayaran, dan mendoakan leluhur. Perpaduan ini adalah
cerminan dari pendekatan praktis dan filosofis komunitas Tionghoa dalam
menjalani kehidupan.
Memasuki vihara, Anda segera diselimuti oleh
suasana sakral. Asap dupa yang mengepul dari ratusan hio yang ditancapkan
bukanlah sekadar pengharum; itu adalah medium doa. Setiap kepulan asap
dipercaya membawa harapan, rasa terima kasih, dan permohonan umat langsung ke
singgasana para dewa dan leluhur di langit. Ini adalah artifak 'hidup' yang
paling esensial di vihara ini.
Perhatikan artifak-artifak di sekeliling Anda.
Lilin-lilin merah raksasa melambangkan penerangan, harapan, dan kehidupan.
Lonceng kuno (genta) dan tambur besar yang tergantung di aula utama bukan
hiasan; keduanya dibunyikan pada waktu-waktu ritual tertentu untuk
'membangunkan' para dewa, membersihkan energi negatif, dan menandai dimulainya
peribadatan.
Altar-altar di sini adalah ensiklopedia iman.
Di altar utama, Anda akan menemukan Dewi Kwan Im (Guan Yin), Bodhisatwa Welas
Asih, figur sentral dalam Buddhisme Mahayana. Di altar lain, Anda bisa melihat
dewa-dewa Tao seperti Dewa Bumi (Hok Tek Ceng Sin) atau Dewa Rezeki (Cai Shen
Ye). Patung-patung ini bukan berhala, melainkan representasi dari energi dan
kebajikan spesifik yang didoakan oleh umat.
Arsitektur vihara itu sendiri adalah sebuah
artifak. Perhatikan ukiran naga (Naga) di atap dan pilar-pilar. Naga adalah
simbol kekuatan, kebijaksanaan, dan perlindungan spiritual. Bahkan setelah
mengalami kebakaran hebat pada tahun 2015, vihara ini dibangun kembali dengan
setia oleh komunitasnya, menunjukkan betapa dalamnya makna tempat ini sebagai
jangkar identitas mereka.
Mengunjungi Vihara Dharma Bhakti bukan sekadar
kunjungan wisata; ini adalah sebuah ziarah ke dalam sejarah Jakarta yang
berlapis. Ini adalah undangan untuk diam sejenak, menghirup aroma sejarah, dan
menyaksikan secara langsung bagaimana tiga ajaran agung hidup berdampingan
dalam damai. Ini adalah tempat untuk memaknai ketahanan, spiritualitas, dan
harmoni di jantung ibu kota yang tak pernah tidur.
Vihara Dharma Bhakti: The Spiritual Heart
of Tri Dharma and Timeless History in Jakarta's Chinatown
Amidst the labyrinthine alleys and the
commercial bustle of Petak Sembilan, Glodok, stands a majestic spiritual oasis.
Your nose will first be greeted by the dense, calming aroma of incense (hio),
guiding you to the gates of Vihara Dharma Bhakti. Also known by its original
name, Kim Tek Ie (Temple of Golden Virtue), this is the oldest temple in
Jakarta, a beacon of faith and history that has stood firm since 1650.
This vihara is a living symbol of Tri Dharma
(The Three Teachings), tangible proof of how three great philosophies—Buddhism,
Taoism, and Confucianism—can merge harmoniously. It is not merely a place of
worship for one religion, but a shared home. Devotees come to pray for the
compassion of a Bodhisattva (Buddhism), seek cosmic harmony through Taoist
teachings (Taoism), and honor ancestors and social ethics (Confucianism) all
under the same roof.
The history of this tri-faith worship is
rooted in centuries. Founded by the Chinese Lieutenant Kwee Hoen, Kim Tek Ie
was established as a spiritual and social center for the Chinese community in
Batavia. It became a place where people gave thanks for harvests, prayed for
safety on voyages, and honored their ancestors. This blend reflects the
practical and philosophical approach of the Chinese community to life.
Upon entering the vihara, you are immediately
enveloped in a sacred atmosphere. The swirling smoke from hundreds of lit
incense sticks is not just fragrance; it is the medium of prayer. Each plume of
smoke is believed to carry the hopes, gratitude, and supplications of the
faithful directly to the thrones of the gods and ancestors in the heavens. This
is the most essential 'living' artifact in the vihara.
Observe the artifacts around you. The giant
red candles symbolize enlightenment, hope, and life. The ancient bells (genta)
and large drums hanging in the main hall are not decorations; they are struck
at specific ritual times to 'awaken' the deities, cleanse negative energy, and
mark the beginning of worship.
The altars here are an encyclopedia of faith.
At the main altar, you will find Dewi Kwan Im (Guan Yin), the Bodhisattva of
Compassion, a central figure in Mahayana Buddhism. At other altars, you might
see Taoist deities like the Earth God (Hok Tek Ceng Sin) or the God of Fortune
(Cai Shen Ye). These statues are not idols, but representations of specific
energies and virtues to whom devotees pray.
The vihara's architecture is itself an
artifact. Notice the dragon (Naga) carvings on the roof and pillars. Dragons
are powerful symbols of strength, wisdom, and spiritual protection. Even after
suffering a devastating fire in 2015, the vihara was faithfully rebuilt by its
community, demonstrating the profound meaning this place holds as an anchor of
their identity.
Visiting Vihara Dharma Bhakti is not just a
tourist stop; it is a pilgrimage into the layered history of Jakarta. It is an
invitation to pause, breathe in the aroma of history, and witness firsthand how
three great teachings coexist in peace. This is a place to understand
resilience, spirituality, and harmony in the heart of a capital that never
sleeps.


Posting Komentar