Glodok: Dari Jaman Kolonial Menjadi Pusat
Pecinan
Saat melangkah ke Glodok, Anda tidak hanya
memasuki kawasan niaga yang sibuk atau surga kuliner legendaris. Anda sedang
melangkah ke dalam sebuah museum hidup, sebuah labirin sejarah di mana setiap
gang sempit dan kelenteng tua menceritakan sebuah kisah. Jauh sebelum dikenal
sebagai pusat elektronik Jakarta, Glodok adalah panggung salah satu babak
paling menentukan—dan tragis—dalam sejarah kolonial Batavia, sebuah kisah yang
membentuk identitasnya hingga hari ini.
Sejarah Glodok sebagai Pecinan tak terpisahkan
dari peristiwa kelam tahun 1740, yang dikenal sebagai "Geger Pacinan"
atau Pembantaian Batavia. Dipicu oleh kecurigaan ekonomi dan ketegangan rasial,
pemerintah kolonial VOC di bawah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier
melancarkan serangan brutal terhadap populasi Tionghoa di dalam tembok kota
Batavia. Ribuan orang dibantai, dan mereka yang selamat terpaksa melarikan
diri.
Tragedi inilah yang melahirkan Glodok. Pasca
pembantaian, VOC menerapkan kebijakan segregasi yang ketat bernama
Wijkenstelsel (sistem distrik). Etnis Tionghoa yang tersisa dilarang tinggal di
dalam tembok kota dan dipaksa bermukim di sebuah area spesifik di luar
benteng—area yang kini kita kenal sebagai Glodok. Tempat ini sengaja dirancang
sebagai "kampung" atau "ghetto" agar mudah diawasi oleh pos
penjagaan Belanda.
Apa yang dimaksudkan sebagai tempat
pengasingan dan kontrol, justru berubah menjadi simbol ketahanan. Di Glodok,
komunitas ini membangun kembali kehidupan mereka. Mereka mendirikan Vihara
Dharma Bhakti (Kelenteng Jin De Yuan), yang menjadi pusat spiritual dan sosial.
Mereka mengubah area terbatas ini menjadi pusat perdagangan yang dinamis. Saat
Anda menyusuri Gang Gloria atau Petak Sembilan, Anda tidak hanya berwisata;
Anda sedang menyaksikan warisan dari komunitas yang menolak untuk dipadamkan.
Glodok: From Colonial Tragedy to the
Enduring Heart of Chinatown
When you step into Glodok, you aren't just
entering a bustling commercial district or a legendary culinary haven. You are
stepping into a living museum, a historical labyrinth where every narrow alley
and ancient temple tells a story. Long before it was known as Jakarta's
electronics hub, Glodok was the stage for one of the most defining—and
tragic—chapters in Batavia's colonial history, a story that shaped its identity
to this day.
Glodok's history as Chinatown is inseparable
from the dark event of 1740, known as the "Geger Pacinan" or the
Batavia Massacre. Fueled by economic suspicion and racial tensions, the VOC
colonial government under Governor-General Adriaan Valckenier launched a brutal
attack on the Chinese population inside Batavia's city walls. Thousands were
massacred, and those who survived were forced to flee.
This very tragedy gave birth to Glodok.
Following the massacre, the VOC implemented a strict segregation policy called
the Wijkenstelsel (district system). The remaining Chinese population was
forbidden from living inside the city walls and was forcibly resettled in a
specific area outside the fortress—the area we now know as Glodok. This place
was intentionally designed as a "quarter" or "ghetto" to be
easily monitored by Dutch guard posts.
What was intended as a place of containment
and control, instead transformed into a symbol of resilience. In Glodok, the
community rebuilt their lives. They established the Vihara Dharma Bhakti (Jin
De Yuan Temple), which became a spiritual and social center. They turned this
confined area into a dynamic hub of commerce. As you wander through Gang Gloria
or Petak Sembilan, you are not just sightseeing; you are witnessing the legacy
of a community that refused to be extinguished.


Posting Komentar